Minggu, 08 April 2012

2eb20_K2

Nama  : Gusty Randa
NPM  : 23210058
Kelas  : 2eb20




SEKITAR 50 tahun lalu, Cornell University Monograph Series menerbitkan karya cendekiawan Soedjatmoko (1922-1989), Economic Development as a Cultural Problem. Soedjatmoko mengamati pentingnya nilai-nilai budaya sebagai bagian integral pembangunan ekonomi.
Kebudayaan mencakup masalah pertautan etika kerja, nilai-nilai kerja sama, dan nilai-nilai yang berkait dengan kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan. Kebudayaan memberi makna hidup, termasuk perubahan-perubahan akibat dahsyatnya kekuatan ekonomi dan teknologi dari negara-negara maju.
GUNA membahas kaitan kebudayaan dan pembangunan ekonomi, para ahli mengkaji “budaya nasional” sebagai bagian proses pembinaan identitas bangsa (“aku orang Indonesia”). Budaya daerah menjadi “acuan perantara” antara “budaya nasional” dan “budaya wilayah” (“aku orang Sumatera, aku orang Sulawesi, dan sebagainya”). Budaya “ikatan primordial” melekat pada suku, agama, dan lingkaran di seluruh Tanah Air (“aku orang Aceh, aku orang Sangir, aku orang Bangka, aku orang Ambon”, dan sebagainya). Salah satu pengamatan penting Soedjatmoko adalah bagaimana “mempertemukan” budaya Barat dengan budaya-budaya Indonesia sehingga terjadi “pembebasan budaya daerah dari kungkungan tradisi”.
Bagaimana membuat orang “terbebas” dari tradisi, namun tidak “tercabut” dari ikatan budaya seperti suku, agama, dan
kedaerahan?
Kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi menjadi tema dasar sejumlah karya besar dalam ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu administrasi negara, bahkan ilmu ekonomi itu sendiri sejak 1950-an. Gunnar Myrdal dari Swedia, 1960-an, membandingkan kinerja “negara keras” dan “negara lembek” guna menggambarkan perlunya “negara kuat” mendobrak “mental lembek” pegawai negeri, yang dinilainya menghambat pembangunan nasional. Ahli sosiologi Selo Soemardjan dan ahli antropologi Koentjaraningrat, 1970-an, mengajukan pemikiran pentingnya “sikap mental” dalam pembangunan nasional. Denis Goulet menegaskan pentingnya “pilihan kejam” yang harus ditempuh pimpinan nasional di negara sedang berkembang jika ingin mendatangkan kemakmuran ekonomi. Belakangan (1993), Samuel Huntington menghimpun tulisan sejumlah pakar mancanegara dari berbagai benua dalam Culture Matters (Kebudayaan Itu Penting).
Indonesia hingga kini masih ramai memperdebatkan hubungan timbal balik antara kebudayaan dan pembangunan ekonomi. Perdebatan itu dibahas di kalangan pujangga Indonesia tahun 1930-an dan 1940. Tokoh budaya “pro-Barat”, seperti Armyn Pane, berpolemik dengan tokoh yang memberat pada tradisi, seperti Ali Boediardjo. Perdebatan menarik itu lalu diwacanakan sebagai “kaum keroncongis” dengan “kaum gamelanis”. Pada 1960-an hingga 1970-an, berlanjut menjadi perdebatan musik Indonesia yang merangkul musik Barat dengan mereka yang berpegang pada musik daerah dan suku. Soedjatmoko meramu perdebatan itu melalui rumusan, tiap bangsa dan tiap daerah harus menentukan sendiri seberapa cepat ia ingin merangkul nilai-nilai “modernisasi” dan seberapa banyak ingin mempertahankan nilai-nilai yang penting untuk kelestarian jati dirinya.
Tradisi bertemu dengan modern dalam wacana “Modernisasi bukan Westernisasi” selama 1950-an hingga 1980-an yang dianut pakar antropologi dan sosiologi Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pemikiran menolak “pem-Baratan” dilakukan para pemikir neo-Marxis maupun Hindu, Budha, dan Islamis di Afrika dan Asia. Tahun 1970-1990-an, perdebatan serupa menggema di kalangan akademisi perguruan tinggi di Amerika Latin. Bahkan kalangan pebisnis multinasional mulai membahas pentingnya budaya lokal dalam sidang-sidang Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.

Penyelesaiannya ....
Pembangunan ekonomi ialah suatu proses perubahan yang meliputi kehidupan suatu bangsa seluruhnya. Pembangunan ekohomi berarti mempercepat desintegrasi susunan magyarakat yang lama dan mempercepat juga keharusan untuk mencapai reintegrasi masyarakat itu.
Pembangunan ekonomi akan membawa kita melalui suatu taraf perkembangan yang amat sukar, oleh sebab runtuhnya kepastian-kepastian hidup yang lama dengan menghadapi keharusan untuk membentuk kepastian-kepastian serta nilai-nilai yang baru.
Meskipun demikian pembangunan ekonomi ialah suatu taraf perkembangan bangsa kita yang harus dilalui. Hak menentukan nasib kita sendiri serta pembangunan ekonomi adalah dua syarat, yang mutlak dan yang saling berhubungan.
Agar pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan hasil yang baik, maka pertama-tama keharusan kita untuk menempuh jalan pembangunan ekonomi ini harus lebih dirasakan dari pada sekarang. Perlu juga kita lebih sadar sejak sekarang tentang kenyataan bahwa pembangunan ekonomi itu bukan suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang meliputi bangsa kita di dalam kebulatannya.

Sudah barang tentu karangan ini tidak lebih dari suatu goresan pertama tentang masalah yang luas dan dalam ini. Secara selayang pandang kita baru menyingung beberapa faktor saja yang perlu diperhitungkan. Kita belum membicarakan peranan agama, baik Islam maupun Kristen, yang sedang dan akan dapat dilakukan berhubungan dengart pembangunan ekonomi kita ini baik secara positif maupun secara negatif. Unsur-unsur di dalam warisan, kebudayaan nenek-moyang kita yang perlu dihidukan kembali atau diinterpretasikan kembali masih banyak yang belum kita singgung.
Juga masalah planning dan hubungan serta perbandingannya dengan kebebasan pribadi adalah suatu masalah yang perlu kita selami dan sadari lebih dalam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar